Gelombang demonstrasi telah melanda kampus-kampus di Amerika Serikat selama musim semi. Sebanyak 3.200 orang demonstran telah ditangkap dalam aksi menolak serangan Israel ke Gaza yang telah mengakibatkan tumpahan darah warga sipil, termasuk anak-anak. Aksi protes ini terjadi di berbagai universitas negeri maupun swasta, kampus besar maupun kecil, baik di perkotaan maupun pedesaan di AS. Banyak dari aksi tersebut akhirnya diakhiri dengan desakan dari pihak kampus, mulai dari ancaman akademis hingga pembubaran yang dilakukan oleh polisi setelah dipanggil oleh pihak kampus.
Menurut analisis data yang dikumpulkan oleh The Associated Press yang dikutip dari NBC News pada Jumat, 2 Agustus, banyak mahasiswa demonstran yang dihadapkan pada tuduhan hukum karena turut serta dalam aksi massa menolak serangan ke Gaza, Palestina. Akibat dari masalah hukum dan penangkapan ini, para mahasiswa tersebut menghadapi ketidakpastian dalam karier akademis mereka. Mereka merasa ragu apakah akan di-DO oleh pihak kampus. Namun, meskipun demikian, masih banyak mahasiswa demonstran yang tetap teguh pada pendiriannya, menyadari konsekuensi yang mungkin terjadi dan tetap akan melanjutkan aksi protes mereka.
Sebagai contoh, Velencia Alvarez, seorang mahasiswa Universitas Washington dari St. Louis, saat ini tengah menunggu perkembangan dari ancaman hukuman yang menghantuinya karena menjadi peserta demo protes serangan di Gaza yang terjadi di kampusnya pada 27 April 2024. Alvarez bersama dengan 99 orang lainnya menghadapi ancaman hukuman, di mana 23 di antaranya adalah mahasiswa Universitas Washington. Para mahasiswa tersebut dihadapkan pada dua pilihan oleh pihak kampus, yaitu disidang di Kantor Tata Tertib Mahasiswa Universitas Washington atau menerima konsekuensi hukum pidana atas penyelidikan yang dilakukan oleh aparat. Alvarez memilih opsi pertama, karena dia tidak berencana untuk bungkam tentang hal ini.
Sebagian besar kasus yang dihadapi para demonstran, mulai dari mahasiswa, pegawai fakultas, hingga orang-orang yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan kampus, melibatkan pelanggaran ringan atau dakwaan tingkat rendah. Contohnya, pelanggaran karena tidak membubarkan diri, perilaku tidak tertib, atau melawan penangkapan. Dakwaan yang lebih serius dialamatkan kepada demonstran yang menduduki gedung kampus di Universitas Columbia (UCLA), AS. Meskipun awalnya mereka dihadapkan pada dakwaan pelanggaran berat, namun akhirnya diturunkan menjadi pelanggaran ringan. Bahkan, ancaman hukum terhadap puluhan mahasiswa itu akhirnya dibatalkan karena jaksa penuntut menganggap tidak ada bukti perusakan properti dan mahasiswa yang terlibat tidak memiliki catatan kriminal.
Di bagian utara New York, jaksa wilayah Ulster County meminta hakim untuk membatalkan 129 kasus yang berasal dari penangkapan mahasiswa dan peserta demo di Universitas Negeri New York. Gelombang demonstrasi di banyak universitas di AS pada musim semi ini juga diiringi dengan masuknya polisi ke lingkungan kampus. Polisi datang setelah adanya pemanggilan dari pihak kampus untuk membubarkan massa mahasiswa dan sipil yang melakukan demonstrasi menolak serangan militer Israel ke Gaza.
Beberapa pemimpin kampus menyatakan bahwa memanggil polisi merupakan satu-satunya pilihan untuk menghentikan demonstrasi mahasiswa. Mereka menganggap aksi protes tersebut mengganggu upacara wisuda, mengganggu kehidupan kampus, dan menyerukan tanda dan bahasa antisemit. Namun, kelompok mahasiswa dan sejumlah anggota fakultas di AS mengecam tindakan para pemimpin kampus tersebut. Menurut pandangan mereka, tindakan polisi sering kali menginjak-injak demonstrasi damai dengan sikap represif yang tidak diperlukan.